Pemilihan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang tepat akan sangat memengaruhi keberhasilan dalam pengembangan mekanisasi pertanian di lahan rawa. Penerapan mekanisasi pertanian di lahan rawa dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, produktivitas lahan, mempercepat waktu pengolahan lahan dan panen. Selain itu, juga menurunkan kehilangan hasil dan biaya produksi.
Perbedaan kondisi lahan, perencanaan tata ruang, letak geografis yang terpencil, keterbatasan suku cadang, serta karakteristik agroekosistem yang spesifik menjadi faktor penghambat dalam pengembangan alat dan mesin pertanian di wilayah pasang surut. Keberhasilan penerapan mekanisasi pertanian di lahan rawa dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu kekerasan tanah, tekanan alsintan ke tanah, kedalaman lumpur, dan jenis alsintan. Selain itu dipengaruhi juga oleh dimensi dan luas lahan, pola pengolahan tanah, sertaketersediaan jalan usaha tani dan jembatan.
Kekerasan tanah (Ground bearing capacity)
Kekerasan tanah atau daya sangga tanah merupakan kemampuan tanah untuk menyangga roda alsintan pada saat alsintan bekerja. Kekerasan tanah diukur dengan soil penetrometer dalam besaran cone index (CI). Kekerasan tanah tergantung pada kejenuhan tanah. Bila kadar air tanah meningkat, kekuatan tanah dalam menerima beban akan makin menurun.
Tekanan alsintan ke tanah (Ground pressure)
Tekanan roda alsintan ke tanah atau juga disebut ground pressure (GP) merupakan berat alsintan dibagi luas tapak roda yang menyentuh tanah. Agar alsintan tidak tenggelam, maka tekanan alsintan ke tanah (GP) harus lebih kecil dari daya sangga tanah.
Kedalaman lumpur
Kedalaman lumpur dan air dalam petakan sawah sangat memengaruhi operasi alsintan, khususnya traktor dan combine harvester. Untuk pengolahan tanah pada lahan berlumpur atau kedalaman air dangkal sampai sedang dapat menggunakan traktor perahu atau traktor kura-kura. Implemen yang digunakan adalah rotary atau roda sirip itu sendiri untuk mengaduk tanah. Traktor perahu atau kura-kura tidak dapat digunakan untuk membajak sawah dengan bajak singkal maupun bajak piringan. Bila kondisi lahan tidak berair atau tergenang dan mempunyai daya sangga tanah relatif besar (CI > 1,5 kg/cm2), mesin panen dapat diterapkan dengan baik, tetapi bila daya sanggah tanah seperti lahan rawa yang relatif kecil (CI < 1,5 kg/cm2), maka mesin panen tidak dapat bekerja dengan baik.
Jenis alsintan
Alsin pengolahan tanah di lahan pasang surut dibedakan menjadi dua macam, yaitu alsin untuk pengolahan tanah pertama (primary tillage equipment), biasanya berupa bajak (plow) dan pengolahan tanah kedua (secondary tillage equipment), biasanya berupa garu (harrow), gelebeg atau rotari (pisau berputar).
Pada lahan dengan lapisan pirit yang dalam (>50 cm) dengan daya sangga tanah yang keras, dianjurkan untuk melakukan pengolahan tanah pertama (bajak singkal atau piringan) satu kali setahun dilanjutkan dengan pengolahan tanah kedua. Pada lahan dengan daya sangga tanah sedang sampai cukup dan lapisan pirit yang tipis +/- 25 cm, maka disarankan pengolahan tanah menggunakan alsintan untuk pengolahan tanah kedua (rotary, glebeg, garu).
Dimensi dan luas lahan
Petakan sawah yang ideal untuk budi daya padi berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang dengan ukuran antara 100 m x 100 m atau 50 m x 100 m. umumnya, satu blok tersier luas lahan usaha tani 10 ha untuk pemilikan 5 keluarga dengan ukuran 200 m x 500 m dan setiap petani menerima lahan usaha seluas 2 ha setiap blok tersier. Petakan yang terlalu luas akan mempersulit di dalam perataan tanah.
Pola pengolahan tanah
Pola operasi pengolahan tanah pada lahan rawa yang disarankan, yaitu (a) pola pengolahan tanah keliling tepi untuk lahan yang berbentuk bujur sangkar, dan tidak terlalu luas. dan (b) pola pengolahan tanah tengah untuk lahan yang memanjang dan sempit. Cara mengolah tanah di lahan rawa pasang surut dan lebak perlu memerhatikan keberadaan lapisan pirit yang ada di bawah lapisan olah. Pada lapisan pirit >= 50 cm dengan kekerasan tanah di atas mata bajak perlu disetel kedalamannya agar tidak dapat masuk sampai mengangkat lapisan pirit karena pirit akan meracuni tanaman bahkan bisa mematikan tanaman. Pada lahan sawah dengan lapisan pirit <=25 cm, disarankan untuk dilakukan pengolahan tanah sekunder dengan garu maupun glebeg kemudian dilakukan perataan.
Ketersediaan jalan usaha tani dan jembatan
Faktor lain yang membatasi penggunaan traktor, yaitu sarana dan prasarana transportasi, ketersediaan air, dan kedalaman pirit. Lahan dengan tipologi sulfat masam yang mempunyai lapisan pirit dangkal (< 25 cm) dan lahan gambut dengan ketebalan >25 cm tidak disarankan diolah menggunakan traktor. Agar pengoperasian traktor berjalan lancar, harus tersedia jalan usaha tani yang cukup lebar sekitar 3,5–4,0 m serta dapat dilalui oleh traktor dengan aman. Selain itu, ketersediaan sarana jembatan diperlukan untuk menghubungkan antar blok lahan yang terpisahkan oleh saluran sekunder dan tersier.
Dengan mekanisasi di lahan rawa mendorong potensi lahan rawa dapat dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, penggunaan alsintan merupakan langkah menuju pertanian modern yang berbasis teknologi, sehingga meningkatkan daya saing petani serta menarik generasi muda untuk terlibat dalam sektor pertanian. (WD 2025)
Sumber
Sosiawan, H. et al. (2025). Buku saku brigade pangan edisi 2: Budidaya padi di lahan rawa. Pusat Pelatihan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian.
https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/24858