Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah berkembang sebagai alat pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu Kementerian Pertanian telah berupaya mengisi keterbatasan akses permodalan dengan membuat program pengembangan usaha agribisnis di perdesaan, yang salah satu kegiatannya adalah penumbuhan dan pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA).
Jenis LKM
Berdasarkan bentuknya, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, bentuk badan hukum LKM adalah Koperasi atau Perseroan Terbatas. Para ahli membagi LKM di Indonesia menjadi 4 golongan besar, yaitu
- LKM formal; lembaga yang berbadan hukum dan secara formal diakui oleh perundangan yang berlaku saat ini sebagai lembaga keuangan.
- LKM non formal; lembaga yang telah memiliki dasar legalitas sebagai badan hukum, tetapi belum memiliki izin dan belum diakui sebagai lembaga keuangan formal oleh perundangan yang berlaku saat ini.
- LKM yang dibentuk melalui program pemerintah.
- LKM informal; lembaga yang tidak berbadan hukum seperti rentenir ataupun arisan.
Keunggulan LKM
- Mudah Dijangkau
- Fleksibel dalam Transaksi
- Memahami Budaya Setempat
- Lebih Efisien
Kondisi LKM saat ini
Program keuangan mikro yang dibentuk pemerintah telah banyak dilakukan melalui program pemberdayaan masyarakat berupa dana bergulir. Program pemerintah yang sudah dilaksanakan terkait perguliran dana adalah
- UES-SP (Unit Ekonomi Desa-Simpan Pinjam),
- Kelompok Usaha Bersama (KUBE),
- Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP),
- PNPM Mandiri (perdesaan/perkotaan),
- Kelompok Program Peningkatan Petani-Nelayan Kecil (KP4NK),
- Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera (UPPKS),
- Lembaga Pemberdaya Ekonomi Desa,
- Unit Pengelola Keuangan Desa.
Adapun program keuangan mikro bagi petani adalah pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). LKMA merupakan salah satu program terobosan dari Kementerian Pertanian untuk mengurangi kemiskinan petani di perdesaan. Lembaga ini sebagai sebuah usaha permodalan di bawah naungan Gapoktan.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, Gapoktan yang telah diberikan bantuan modal untuk pembentukan LKMA tahun 2008–2015 sebanyak 52.186 desa/Gapoktan sebagai pusat pertumbuhan usaha agribisnis di perdesaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Setiap Gapoktan menerima anggaran sebesar 100 juta rupiah sebagai modal LKMA. Modal tersebut dipinjamkan kepada petani untuk mengembangkan usaha pertaniannya dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani, serta rumah tangga tani.
Namun dari hasil evaluasi, perkembangan jumlah LKMA dan Koperasi Pertanian yang masih berlanjut dari tahun 2017–2023 atau dalam tujuh tahun terakhir ini jumlah LKMA hanya berkisar antara 7.000-an LKMA. Data memperlihatkan bahwa peningkatan pertumbuhan jumlah LKMA relatif lambat. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti terkait pembiayaan LKMA, terdapat beberapa faktor yang menghambat tumbuh dan berkembangnya LKMA serta menghambat proses menuju kemandirian.
Kendala LKM
Kendala yang dihadapi LKM dalam melaksanakan pelayanan keuangan di perdesaan adalah masalah sumber daya manusia yang masih belum profesional, kurangnya modal dan tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat. Selain itu, masalah infrastruktur yang terbatas, belum ada rumusan platform untuk mengembangkan LKMA tersebut, serta beberapa LKMA belum memiliki payung hukum ataupun legalitas.
Sebagian besar lembaga keuangan mikro yang dibangun oleh program pemerintah menghadapi persoalan mengenai keberlanjutan aktivitas mereka. Penyebab ketidakmampuan menjaga keberlanjutan oleh LKM dapat bermacam-macam mulai dari ketergantungan terhadap dukungan, baik dari pemerintah dan donor (hanya merupakan proyek yang memang didesain untuk sementara waktu saja), ketiadaan sistem keuangan mikro yang memadai, dan ketidakmampuan beradaptasi dengan situasi pasar keuangan mikro yang ada.
Solusi Keberlanjutan LKM
Model pinjaman tanggung renteng atau dikenal dengan istilah Joint Liability Lending (JLL) biasanya digunakan oleh LKM karena memberikan solusi yang inovatif untuk mengatasi tantangan dalam pemberian kredit kepada masyarakat miskin
Pinjaman tanggung renteng adalah mekanisme pemberian pinjaman yang mengedepankan tanggung jawab kolektif dalam kelompok peminjam. Dalam konsep ini, setiap anggota kelompok bertanggung jawab secara bersama-sama atas pelunasan pinjaman, baik pinjaman individu maupun kelompok. Model ini sering digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat dan keuangan mikro, terutama untuk kelompok masyarakat dengan akses terbatas ke kredit formal.
Keberhasilan ciri utama pinjaman tanggung renteng yaitu sebagai berikut:
- Tanggung Jawab Kolektif.Jika salah satu anggota kelompok tidak mampu membayar cicilan, anggota lain dalam kelompok bertanggung jawab untuk menutup kekurangan tersebut
- Kelompok Kecil. Pinjaman tanggung renteng biasanya diterapkan dalam kelompok kecil (5–20 orang) yang saling mengenal, sehingga memudahkan pengawasan dan membangun kepercayaan
- Tanpa Agunan. Pinjaman ini biasanya tidak memerlukan agunan, tetapi mengandalkan mekanisme kepercayaan kelompok sebagai jaminan
- Pengawasan Internal Anggota kelompok saling mengawasi penggunaan dan pengembalian pinjaman, sehingga mengurangi risiko kredit macet
- Fokus pada Komunitas Rentan. Program ini sering diarahkan kepada kelompok masyarakat miskin atau usaha mikro yang tidak dapat memenuhi syarat kredit dari bank konvensional.
Keuntungan pinjaman tanggung renteng yaitu sebagai berikut:
- Meningkatkan Akses ke Kredit. Memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal
- Membangun Solidaritas Kelompok. Memupuk rasa tanggung jawab bersama yang dapat meningkatkan kedisiplinan dalam pembayaran pinjaman;
- Mengurangi Risiko Kredit Macet.
Sumber :
Anggriani, Triane Widya (2024). Lembaga Keuangan Mikro Pertanian Mengubah Kegagalan Menjadi Keberhasilan.Pertanian Press.https://epublikasi.pertanian.go.id/index.php/pertanianpress/catalog/book/109